Kali ini saya ke Bandung dalam rangka tugas, kebetulan jadwalnya sudah diberitahukan sebelumnya oleh manajemen. Biasa, ada undangan pelatihan mulai tanggal 21 Februari 2015. Biasanya, saya kalau ke Bandung mesti ke Jakarta, kemudian melanjutkan perjalanan ke Bandung pakai travel.
Sehubungan dengan gencarnya pemberitaan bahwa Jakarta banjir, maka saya pun mencari penerbangan langsung dari Padang ke Bandung. Nah, dapat, ada pesawat Express Air. Saya sempat berpikir apakah Express Air ini pakai mesin baling-baling. Syukurlah, kata teman saya yang agen tiket, pesawatnya berjenis Boeing mesin jet.
Saya sempat cemas karena hari Rabu tanggal 18 Februari 2015 kota Padang dilanda hujan lebat dan angin kencang. Namun sesampai di Bandara Internasional Minangkabau saya melihat pesawat tetap berangkat pada jadwalnya.
Namun sudah lewat pukul 12.15 Express Air belum juga mendarat di BIM. Saya sempat dag dig dug, apa jadi berangkat atau tidak. Syukurlah akhirnya Express Air memberanikan diri mendarat di tengah hujan angin pukul 12.45. Kami pun terbang pukul 13.15 terlambar 1 jam dari jadwal.
Kalau melihat ukuran pesawatnya, agak pendek dan rendah. Namun bagian dalam pesawat ini berpenampilan mewah.. Pramugari tercantiknya mengingatkan saya pada gadis-gadis atau mojang Priangan yang belanja di BIP alias Bandung Indah Plaza di tahun 1995 dulu. Kulit putih, mata bundar dan bibir yang seolah selalu tersenyum. Ah, mati pun aku mau bersama mu hahahah... padahal di usia sekarang saya paling takut naik pesawat. Apalagi pesawat yang baru dikenal.
Mendung di Padang, juga disambut mendung di Bandung. Yang mendebarkan, bandara Hussein Sastranegara terletak di tengah kota. Dan, setahu saya landasannya tidak bisa diperpanjang. Mengingatkan saya akan bandara Polonia di Medan. Roda pesawat seolah menyentuh salib-salib besar di puncak gereja-gereja besar di Medan.
Terlihat macetnya Jalan Pajajaran dari atas. Oh....dan pendaratan pun dimulai. sedikit guncangan dan....tak lama pesawat melambat dan berbelok ke tempat parkirnya. Pilot Syamsurizal ini memang hebat, menuju tempat parkir kayak bawa bus aja hahahah. Pendaratan yang mendebarkan berakhir sudah.
Sampai di tempat pengambilan bagasi, ehh... kok kecil aja. Mengingatkan saya akan Bandara Tabing zaman dulu. Saya menghela koper menuju ruang parkir. Dan mencari tempat sepi ketika sudah di luar bandara. Maklum, masa sih naik taxi di tengah kota Bandung yang macet itu. Macet na cicing mang.
Akhirnya tukang ojek yang jeli menghampiri saya. Katamso berapa? Lima pulu rebu bang. Empat puluh mau? Gak bisa...macet bang. Dan ojek Mio ini pun meliuk-liuk menembus macet sepanjang jalan Pajajaran-Martadinata-trus belok ke Jalan Katamso.
Nah, di Katamso 21 inilah saya tinggal dan menulis perjalanan ini.